Sabtu, 21 Mei 2016

Sepercik Suara Hati

Aku mulai menginjak kehidupan tak bersetapak. Jalannya penuh batu kerikil yang akan menimbulkan rasa sakit bila menyentuh kulit kakiku yang belum mengeras. Debu-debu beterbangan bersama kupu-kupu, menghalangi jarak pandangku. Sungai terbentang tanpa ada jembatan penyerbangan yang layak. Hanya ada satu sampan reot tak berdayung yang kulihat. Dulu, aku sangat ingin meninggalkan kehidupan kecilku menjadi dewasa seperti ini, tapi kini ku sadari, berjalan ke arah sana sangat terjal. Namun, ntuk ku kembali sudah tak ada kemungkinan lagi. Pintu-pintu dimana tangis karna balon meletus dan hal kekanakan lainnya sudah tertutup rapat dan tak dapat ditembus walau kunci terus menggantung di sela-sela. Air mata tak dapat terbendung lagi, karna kenyataan menyakitkan lainnya terbuka satu persatu. Langit mendung seakan mengerti suasana saat ini. Bintang menyembunyikan cahaya nya, menjauh dari penglihatanku. Hanya ada satu pintu kebahagiaan yang entah harus dicari kemana kunci yang tepat. Setelah fisik tak lagi kuat menghadapi ini semua, apakah aku harus menyerah? Melawan arus tak mungkin dapat kulewati dengan posisi sendiri meringkuk di sudut kamar dengan barang berserakan dimana-mana. Mereka melihatku tapi tak berpihak terhadapku. Padahal aku sangat membutuhkan mereka. Seakan aku angin yang hanya dapat dirasa namun tak dapat dilihat.

Jatilawang, 21 Mei 2016.

Rabu, 04 Mei 2016

Kata dalam diam.

Dulu kamu berlalu lalang sesekali berhenti ke persinggahan tempatku duduk. Memberikan seutas penyataan bahwa aku selalu suka tidur. Namun, Sekarang aku terjaga karna bayang-bayang tentangmu terus berlalu lalang pada pikiranku. Sangat menyedihkan, sementara kamu sudah melangkah semakin jauh kedepan dengan meninggalkan jejak langkah kaki yang memaksaku mengikutimu dalam diam.

Dulu kamu selalu menemaniku duduk, berceloteh apapun yang terlintas dipikiranmu. Sesekali memberiku gurauan. Tak lucu memang, tapi entah bagaimana aku menyambutnya dengan tawa yang tak kunjung henti. Hari ini, aku melihatmu duduk berdua di bangku taman dengan gadis kuncir kuda kulit langsat. Sesekali kau acak-acak mangkota kepalanya. Membuatnya melayangkan pukulan gemas mengarah ke lenganmu. Sungguh, saat aku melihat hal ini, inginku perintahkan kakiku bergerak ke arah mu dan membawa mu pergi bersamaku. Namun realita sangat juauh dari ekspetasi yang sudah ku rumuskan baik-baik. Yang ku lakukan hanya terus melihatmu dengannya, dibalik buku lusuh yang ternyata terbalik. -Surabaya, 29 April 2016