Aku mulai menginjak kehidupan tak bersetapak. Jalannya penuh batu kerikil yang akan menimbulkan rasa sakit bila menyentuh kulit kakiku yang belum mengeras. Debu-debu beterbangan bersama kupu-kupu, menghalangi jarak pandangku. Sungai terbentang tanpa ada jembatan penyerbangan yang layak. Hanya ada satu sampan reot tak berdayung yang kulihat. Dulu, aku sangat ingin meninggalkan kehidupan kecilku menjadi dewasa seperti ini, tapi kini ku sadari, berjalan ke arah sana sangat terjal. Namun, ntuk ku kembali sudah tak ada kemungkinan lagi. Pintu-pintu dimana tangis karna balon meletus dan hal kekanakan lainnya sudah tertutup rapat dan tak dapat ditembus walau kunci terus menggantung di sela-sela. Air mata tak dapat terbendung lagi, karna kenyataan menyakitkan lainnya terbuka satu persatu. Langit mendung seakan mengerti suasana saat ini. Bintang menyembunyikan cahaya nya, menjauh dari penglihatanku. Hanya ada satu pintu kebahagiaan yang entah harus dicari kemana kunci yang tepat. Setelah fisik tak lagi kuat menghadapi ini semua, apakah aku harus menyerah? Melawan arus tak mungkin dapat kulewati dengan posisi sendiri meringkuk di sudut kamar dengan barang berserakan dimana-mana. Mereka melihatku tapi tak berpihak terhadapku. Padahal aku sangat membutuhkan mereka. Seakan aku angin yang hanya dapat dirasa namun tak dapat dilihat.
Jatilawang, 21 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar